Dunia Tasawuf tak mungkin
lepas dari Syekh Abdul Qodir Jailani. Ia adalah Pemimpin dan Sulthanul Awliya.
Hari itu, 10 Rabiul akhir 561
H/1166 M, dunia islam berduka. Seorang Ulama dan Sufi besar , Syekh Abduk Qodir
Jailani, berpulang kerahmatullah dalam usia 91 tahun. Ia lahir di Jailan,
Bagdad, Irak, 1 Ramadan 470 H/1077 M. Kapasitas keulamaannya yang luar biasa
semakin menjulang karena ia adalah keturunan ke 13 Rasulullah SAW. Bukan hanya
itu, nasab atau keturunannya itu juga merupakan “jalur emas”, karena ayahnya
keturunan langsung Hasan Bil Ali Bin Abi Thalib, sementara Ibunya Keturunan
Husain, adik kandung Hasan, dua cucu Rasulullah yang terkasih. Ia anak pasangan
Abu Musa (yang bergelar Abu Shalih) dan Fatimah.
Kakek dari garis ibunya dikenal
sebagai ulama yang sangat saleh. Nama lengkapnya Muhyiddin Abu Muhammad bin Abi
Shaleh Musa, dengan gelar Janki Dost bin Abu Abdillah Al-Jilli. Al-Jilli
diambil dari kampung kelahirannya, Jilan, dataran tinggi yang subur, hijau
sangat indah, hampir tidak ada daratan Persia yang berpanorama seperti Jilan.
Selain sebagai ulama Teolog dan
ulama Fiqih, Syekh Abdul Qodir Jalilani di kenal sebagai pendiri Tarekat
Qadiriyah. Kapasitas itulah yang menampilkannya sebagai sosok ulama besar
dengan kepribadian yang kamil (utuh), hingga sufi besar seperti Ibnu Arabi
menjulukinya Wali Kutub, Al-Quthbur Rabbani, Sulthanul Awliya (ketiganya
berarti pemimpin para wali), Syaikhul Islam, Al-Ghawtsul A’dzam (penolong
Agung), Muhyiddin (penghidup agama), dan sebagainya.
Bisa dimaklumi jika kaum muslimin
sangat mengangungkannya – tentu dalam batas-batas toleransi tertentu, ada
beberapa kitab yang memuat biografi Syekh Abdul Qadir Jailani (disebut
manakib), diantaranya yang paling populer ialah An-Nurul Burhani, Habib
Abdullah Al-Haddad, seorang ulama besar, menulis puisi panjang berjudul Ratibul
Haddad, yang mengungkapkan keagungan Syekh Abdul Qadir Jailani. Ratib Haddad
inilah yang dubaca oleh sebagian besar kaum muslimin pada saat-saat tertentu.
Ada yang membaca setiap malam Jumat
Kliwon seperti yang dirintis oleh KH. Nashih bin KH. Hamid Pasuruan. Ada juga
yang membacanya pada malam Jumat Legi. Sementara ada yang dibaca setiap malam
kesebelas bulan Hijriyah – mengacu pada hari wafat atau haulnya. Bahkan tidak
sedikit setiap bulan Rabiul Akhir, seperti yang di gelar di Pondok Pesantren
As-Siddiq di Glenmore, Banyuwangi, Jawa Timur.
WASILAH DAN TAWASUL
Tokoh kharismatik ini memang tak
pernah lepas dari mulut dan kenangan kaum muslimin sejagat. Hampir setiap hari
mereka memanjatkan doa kepada Allah SWT dengan berwasilah , atau perantaraan,
Syekh Abdul Qadir. Berwasilah atau bertawasul, merupakan upaya memanjatkan doa
kepada Allah melalui seseorang yang diyakini mempunyai kedekatan yang sangat
akrab dengan Allah SWT, seperti Rasulullah SAW, beberapa sahabat yang terpilih,
juga para ulama besar dan waliyullah seperti Syekh Abdul Qadir.
Beberapa Karomah sudah nampak sejak
ia masih kecil, sementara masa mudanya penuh dengan semangat menuntut ilmu-ilmu
agama. Dalam usia belasan tahun pada 488 H / 1095 M, ia berangkat ke Bagdad
untuk belajar. Sebelum berangkat Ibunya membekalinya 400 keping emas, warisan
almarhum ayahandanya yang dijahitkan di mantelnya. Sang Ibu berpesan agar ia
tidak berdusta dalam segala hal dan dalam berbagai kesempatan. Iapun berangkat
mengendarai kereta kuda.
Sampai di Hamadan, ia dihadang
segerombolan perampok yang menanyakan apakah ia membawa uang, iapun menjawab
sejujurnya. Tapi justru karena kejujuran itulah para perampok malah bingung. Ia
lalu diseret untuk menghadap benggol perampok, yang justru tidak percaya bahwa
tawanannya membawa uang berupa kepingan-kepingan emas. Akhirnya ia malah di
bebaskan, karena kejujuranya. Setelah itu para perampok tersebut insyaf dan
bertaubat, yang diikuti oleh seluruh anak buahnya , dihadapan Syekh Abdul Qadir
Jailani. Dan seluruh harta rampokan itu dikembalikan kepada pemiliknya.
TINGGAL SEORANG DIRI DI PADANG
(SAHARA)
Syekh Abdul Qadir Jailani,
menceritakan, “Aku tinggal di Padang negeri Irak selama 25 tahun tanpa mengenal
seorang pun. Saat itu telah datang kepadaku sekumpulan “Rijalul Ghaib” bangsa
Jin. Lalu, aku mengajarkan pada mereka “Ilmu tarekat” kepada Allah SWT. Waktu
itu , aku bersahabat dengan Nabi Khidir. Pertama kali aku tidak mengenalnya,
tetapi ia memberi isyarat agar aku jangan membantahnya. Aku disuruh diam di
Padang itu selama 3 tahun. Dan setahun sekali dia datang menemuiku. Dia tidak
memperkenankan aku pergi, sebelum dia datang menemuiku.”
KEBIASAAN-KEBIASAAN DAN
KAROMAHNYA
Syekh Abdul Qadir Jailani gemar
berpakaian meniru cara-cara berpakaian ulama negeri Baghdad, suka mengendarai
keledai, dan jika mengajar, duduk ditempat yang agak tinggi. Keajaibannya,
ketika mengajar, sering ia melangkah di udara, di atas kepala orang-orang yang
diajar, kemudian kembali.
Setelah namanya sangat termasyhur,
berkumpullah seratus orang ahli fikih cerdik dari negeri Baghdad. Tujuan mereka
adalah, akan mengadakan Hujjah perkara ilmu pengetahuan. Setiap orang dari
mereka telah menyiapkan masalah-masalah yang akan di tanyakan kepada Syekh
Abdul Qadir Jailani. Dia pun maklum atas kedatangan mereka. Maka, beliau
menunduk berdoa minta pertolongan Allah SWT
Karena niatnya itu, maka seratus
ulama fikih tersebut, setelah berhadapan dengan Syekh Abdul Qadir Jailani,
tubuhnya gemetaran, diam terpaku, tak mampu berbicara sepatah kata pun.
Tiba-tiba dari dada mereka keluar kilat, bagai kilat-kilat bercahaya
menyambar-nyambar. Sehingga setelah kejadian tersebut, segala yang ada di dada
mereka hilang musnah. Mereka tidak lagi mampu mengingat ilmu pengetahuan barang
sedikitpun. Maka suasana pun menjadi ribut, gempar, karena mereka
menjerit-jerit histeris sambil membuka tutup kepalanya.
Syekh Abdul Qadir Jailani pun naik
ke atas kursinya, kemudian menjelaskan segala isi hati seratus ulama tersebut
satu persatu. Maka mereka mengaku dan minta maaf kepada Syekh Abdul Qadir
Jailani yang keramat itu.
Suatu ketika, datanglah seorang
lelaki kepada Syekh Abdul Qadir Jailani dari negeri Baghdad meminta bantuan.
Karena anak perempuannya telah di sembunyikan oleh Jin. Syekh Abdul Qadir
Jailani berkata, “Pergilah kamu ke suatu tempat yang terdapat satu rumah, dan
duduklah kamu pada bangku kelima, kemudian Goreslah bumi, dan ucapkanlah
“Bismillah” ketika kamu menggores bumi atas niat Abdul Qadir. Apa bila malam
tiba dan datang kepadamu serombongan Jin dengan berbagai bentuknya, janganlah
kamu merasa takut kepadanya. Jika waktu dini hari telah tiba, dan datang
kepadamu Raja mereka, dia akan bertanya kepadamu tentang hajatmu. Maka
hendaklah kamu jawab, “Aku telah datang kepada Syekh Abdul Qadir Jailani, dan
ceritakan perihal anakmu itu.”
Lelaki itu pun menuruti apa yang
dikatakan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani, dan ternyata apa yang dikatakan oleh
Syekh Abdul Qadir benar-benar terjadi. Raja Jin dan pengikut-pengikutnya sujud
di atas bumi, kemudian Raja Jin memerintahkan kepada anak buahnya yang telah
menculik anak perempuan lelaki tersebut, agar megembalikan kepada lelaki
tersebut.
Dikatakannya, bahwa yang telah
melakukan penculikan adalah bangsa Jin yang tinggal di negeri Cina. Adapun
sebab-sebanya, karena jin tersebut mencintai anak perempuan lelaki itu. Akhirnya
anak perempuan itu segera dikembalikan kepada lelaki tadi, karena mereka takut
kepada Syekh Abdul Qadir Jailani, seorang Quthb bagi manusia dan bangsa Jin.
Pada suatu hari, ketika Syekh Abdul
Qadir Jailani mengajar, dimana saat itu angin bertiup sangat kencang. Tiba-tiba
lewatlah seekor Elang menjerit-jerit. Maka paniklah majlis pelajaran, hingga
Syekh Abdul Qadir berkata, “Hai Angin, ambillah kepala Elang itu!” tiba-tiba
burung elang itu jatuh dengan badan terpisah dari kepalanya. Kemudian, burung
itu di pungut oleh Syekh Abdul Qadir, lalu diusap-usapnya burung tersebut
sambil mengucap Bismillahirrahmanirrahiem, maka burung itu hidup kembali dan
terbang seperti sedia kala.
Suatu hari, ada seorang lelaki yang
mengaku dapat melihat Allah SWT dengan mata kepalanya. Maka bertanyalah Syekh
Abdul Qadir kepadanya, “Benarkah demikian?”
“ya benar”, jawab lelaki itu. Maka Syekh Abdul Qadir Jailani pun
menghardiknya, dan menasehatinya agar jangan berkata demikian. Akhirnya orang
itu berjanji untuk tidak mengulangi lagi perkataannya itu.
Dalam majlis pengajian, Syekh Abdul
Qadir Jailani menceritakan perihal yang diucapkan lelaki tersebut. Beliau
mengatakan, “Perkataan lelaki itu benar, akan tetapi diragukan atas pandangannya.
Yang sebenarnya adalah bahwa ia melihat cemerlangnya (sifat Jamal) dengan mata
hatinya. Dari mata hati menuju ke mata kepala. Kegemilangan yang sedikit tadi
dilihatnya dengan mata hatinya, sedang mata hati berhubungan dengan “Nur
Syuhud”. Maka ia mengira mata kepala nya yang melihatnya, padahal penglihatan
itu dengan mata hati. Tegasnya, ia melihat mata kepalanya dengan mata hatinya.”
Di riwayatkan oleh Abu Sa’id
Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ali Asyrum At-Tamimi:
“Ketika masih muda, aku memasuki
negeri Baghdad untuk menuntut ilmu pengetahuan, bersama Ibnu Siqa adalah
sahabatku. Kami bersama-sama menjalankan ibadah dan menziarahi orang-orang
Shalihin. Di negeri Baghdad, pada waktu itu, ada seorang lelaki yang dikatakan
sebagai “Al-Ghauts”. Kadang-kadang ia ada di tengah-tengah masyarakat, dan
kadang pula ia menghilang, Saya, Ibnu Siqa dan Syekh Abdul Qadir Jailani pada
suatu hari bermaksud menziarahi makam
Al-Ghauts. Di tengah perjalanan, Ibnu Siqa berkata, “Hari ini akan aku
tanyakan satu masalah, dan kukira ia tidak akan dapat menjawabnya,” mendengar
itu Abdul Qadir Jailani mengatakan. “Aku berlindung kepada Allah dari suatu
pertanyaan, aku hanya mengharap berkah dari pandangannya.” Ketika kami sampai
di tempat tujuan, kami tidak melihatnya, lalu kami duduk. Tiba-tba saja, dia
telah duduk dekat kami, dia menatap Ibnu Siqa dengan pandangan marah. Kemudian
ia berkata, “Celakalah engkau hai Ibnu Siqa, engkau ingin menanyakan masalah
karena ingin mengujiku, akan masalahmu itu, begini, begitu,” semua dapat
dijawabnya. Selanjutnya ia mengatakan, “Aku melihat api kufur menyala-nyala
padamu.” Kemudian ia memandangku sambil berkata, “Hai Abdullah! Engkau menanti
suatu masalah dariku, maka jawabnya engkau akan dicerai beraikan dunia hingga
sampai pada dua kupingmu, disebabkan pekertimu yang jahat”.
Kemudian dia memandang juga kepada
Abdul Qadir Jailani dan mendekatinya serta memuliakan dengan perkataan, “Hai
Abdul Qadir, sesungguhnya walau pun engkau telah meridlakan Allah dan Rasul-Nya
di karenakan adabmu, seolah-olah aku melihatmu di Baghdad. engkau akan naik di
atas kursi mengajar sekalian manusia. Engkau akan mengatakan bahwa telapak
kakimu berada dia atas pundak sekalian wali. Para wali ketika itu akan
merendahkan diri kepadamu.”
Seketika itu hilanglah ia dari
penglihatan kami, sedangkan apa yang dikatakannya tentang Abdul Qadir Jailani
benarlah adanya. Sedang Ibnu Siqa, sangat rajin menuntut ilmu, yang akhirnya ia
benar-benar menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Ia adalah salah seorang yang
mempunyai kelebihan pada zamannya, lebih termasyhur lagi namanya karena ia
pandai berdebat. Lidahnya fasih, budi pekertinya baik. Dia dikasihi Khalifah,
bahkan oleh Khalifah di jadikan utusan ke negeri Rum. Raja Negeri Rum kagum
melihat kefasihan dan kelebihan ilmu pengetahuan Ibnu Siqa.. maka, dikumpulkan
semua cerdik pandai dari seluruh negeri Rum untuk bertukar pikiran dengan Ibnu
Siqa.
Ternyata Ibnu Siqa melebihi seluruh
cerdik pandai negeri Rum tersebut. Maka Raja pun bertambah kagum dan hormat
kepadanya.
Pada suatu hari, Ibnu Siqa di
perhatikan oleh seorang putri Raja, dan ia pun jatuh cinta kepada putri Raja
tersebut dan meminangnya. Pertama-tama Raja menolak pinangannya, akan tetapi
akhirnya ia menerimanya, dengan syarat Ibnu Siqa harus masuk agama Nasrani
(Kristen), maka Ibnu Siqa pun menerima persyaratan tersebut, dan masuklah dia
agama Kristen. Setelah kejadian tersebut, barulah ia teringat perkataan orang
Ghauts sewaktu dirinya masih muda dahulu. Hal itu dikarenakan kesalahannya
sendiri telah melanggar adab.”
Abu Said selanjutnya mengatakan:
“Aku pergi ke negeri Damaskus
menemui Sultan Nuruddin As-Syahid. Aku menekankan kepadanya agar berwaqaf, maka
aku menjadi seorang yang sibuk dengan urusan duniaku. Benarlah perkataan Ghauts
pada kami dulu.
Di riwayatkan, datanglah seorang
saudagar bernama Abu Al-Mudhafar Hasan ibnu Tamim kepada Syekh Ahmad Ad-Dabbas,
salah seorang guru Syekh Abdul Qadir Jailani. Abul Mudhafar berkata kepada
Syekh Ahmad. “Ya Sayyidi! Aku telah menyiapkan satu Kafilah untuk berniaga ke
negeri Syam dengan jumlah harga 700 dinar”. Syekh Ahmad berkata, “Jika kamu
pergi pada tahun ini, niscaya hartamu akan di rampok dan engkau akan dibunuh”.
Dengan sedih Abul Mudhafar pun keluar dan berjumpa dengan seorang pemuda Abdul Qadir, kemudian dia menceritakan apa
yang dikatakan oleh Syekh Ahmad. Maka Abdul Qadir berkata, “Pergilah tuan,
niscaya tuan akan selamat dan kembali dengan membawa keuntungan, aku jamin akan
demikian”.
Maka, Abul Mudhaffar pergi ke
negeri Syam, barang dagangannya terjual dengan harga 1000 dinar. Suatu ketika
ia pergi buang air besar, dan uangnya 1000 dinar tertinggal di atas jendela
kamar mandi. Kemudian ia pergi tidur, dan ia bermimpi seolah-olah kafilahnya
dirampok oleh perampok Arab, dan semua kafilahnya di bunuh. Kemudian salah
seorang perampok mendatangi Abul Mudhaffar dan memukul serta menikamnya.
Dia pun lalu terbangun dari
tidurnya, akan tetapi lehernya berdarah dan merasakan sakit bekas tikaman.
Dalam pada itu, dia baru teringat akan uangnya yang 1000 dinar, dan ternyata
uang tersebut masih tergeletak utuh di atas jendela kamar mandi.
Abul Mudhaffar pulang ke negerinya.
Ketika masuk ke negeri Baghdad dia berpikir, jika aku mulai ziarah kepada Syekh
Ahmad karena ia lebih tua, jika aku mulai ziarah kepada Abdul Qadir, karena dia
yang benar perkataannya. Tiba-tiba saja ia bertemu dengan Syekh Ahmad, kemudian
berkata, “Pergilah kepada Abdul Qadir, dialah lelaki yang dikasihi,
sesungguhnya ia telah berdoa kepada Allah SWT untukmu sebanyak tujuh belas
kali, sehingga takdir di bunuh atasmu dalam keadaan sadar, di tukar dengan kena
bunuh dalam mimpi. Hartamu yang ditakdirkan hilang dan kepapaanmu terlupakan
juga!”
Maka Abul Mudhaffar pun pergi ke
tempat Abdul Qadir. Beliau berkata, “Syekh Ahmad telah mengatakan, bahwa aku telah mendoakan kamu tujuh belas
kali, dengan kebesaran yang Ma’bud, aku bermohon sebanyak tujuh belas kali
hingga tujuh puluh kali, barulah dijadikan yang ditakdirkan atas mu seperti mimpi
yang kau alami.”
Di riwayatkan pula, bahwa khadimnya
berjunub dalam satu malam sebanyak tujuh puluh kali mimpi jimak (bersetubuh)
dengan perempuan. Bermacam-macam perempuan yang disetubuhi dalam satu malam,
ada perempuan yang sudah dikenal dan ada yang belum dikenalnya sama sekali.
Pagi-pagi ia mengadu kepada Syekh Abdul Qadir Jailani, beliau berkata,
“Janganlah engkau benci hal itu, karena telah kulihat, bahwa engkau akan
berzina tujuh puluh kali dengan perempuan-perempuan itu. Maka aku mohon kepada Allah agar kau dipalingkan dari hal
itu pada waktu sadar, dan hanya kau alami dalam mimpi saja”.
Syekh Al-Arif Abi Al-Khari
Al-Basyri ibnu Mahfudz meriwayatkan:
“Aku, Abu Al-Saud Al-Harimi, dan
beberapa orang Syekh lainnya datang kepada Syekh Abdul Qadir Jailani, maka ia
berkata, “Hendaklah tiap-tiap orang dari kalian menyampaikan hajatmu kepadaku,
agar aku dapat memberikan jawabannya.”
Kata Syekh Abu al-Saud, kehendak ku
meninggalkan Ihktiar,” kata Syekh Fa’id, “Kehendak ku agar kuat Mujahadah”.
Kata Syekh Umar Al-Bazzar, “Kehendak ku takut kepada Allah.”
Kata Syekh Hasan Al-Farisi, “Bagiku
hal beserta Allah, aku kehendaki kelebihannya”.
Kata Syekh Jamil, “Kehendakku
bertambah ilmu pengetahuan.” Kata Syekh Syarsyawi,”Aku tidak ingin mati,
sebelum mencapai maqam Quthub”.
Kata Syekh Abdul Barakah
Al-Bathaih, “Aku ingin menghabiskan kasihku kepada Allah”.
Demikianlah masih-masing orang yang
hadir menuntut cita-citanya. Bahkan sebagian mereka ada yang menuntut pekerjaan
dunia, seperti misalnya, Abu Abdillah ibnu Hurairah, dia ingin menjadi seorang
Wazir.
Jawab Syekh Abdul Qadir Jailani,
“Demi Allah, sesungguhnya telah tercapai cita-cita mereka. Aku telah
menyaksikan mereka mendapatkan apa yang dikehendakinya, melainkan As-Syekh
Al-Jalil Ahmad Al-Syarsyawi sampai wafatnya belum mencapai tingkat Quthub,”
karena Syekh Abdul Qadir Jailani masih hidup.
Pada tahun 521 H/1127 M, ia mulai
berdakwah. Sebelumnya ketika dunia islam mengalami kejayaan di bidang ilmu
pengetahuan, sementara kaum intelektual justru berkiblat ke pemikiran filsafat
Yunani, tampillah Syekh Abdul Qadir meluruskan kembali pemikiran kaum
intelektual muslim. Ketika itu di Bagdad sejumlah pemikir seperti Abu Ishak
as-Zairazi, Imam Ghazali, Ibnu Aqil, Abdul Qohir al_Jurjani, Abu Zakariya
at-Tibrizi, Abul Qosim al-Hariri, As-Zamakhsari, al-Qadil “iyad al-Maliki, dan
sebagainya.
Tapi ironisnya, di sisi lain
sebagian kaum muslimin lebih condong kepada filasafat Yunani, disamping
maraknya berbagai Bid’ah dan Khurafat – tindakan dan pemikiran yang tidak ada
rujukannya dalam ajaran Islam. Ketika itulah sebagian intelektual muslim
merindukan munculnya seorang mujaddid, pembaharu yang mampu menjawab semua
keprihatinan tersebut.
TASAWUF - FALSAFI
Maka tampillah Syekh Abdul Qadir
Jailani dengan pola dakwah yang langsung bersentuhan dengan masayarakat.
Kehadirannya boleh dikatakan sebagai pelengkap bagi Imam Ghazali, ulama dan
sufi besar sekaligus intelektual yang produktif menuliskan
pemikiran-pemikirannya, melalui Madrasah dan Ribath (pesantren tasawuf), fatwa,
pernyataan dan nasehat-nasehat bagaikan magnet yang mampu mengundang puluhan
ribu kaum muslimin mengunjungi pengajian-pengajiannya.
Jema’ahnya datang dari berbagai
lapisan masyarakat: mulai dari rakyat kecil sampai mentri, bahkan Khalifah.
Semua disiplin ilmu seperti tafsir, hadis, nahwu (tatabahasa) usul Fiqh
(dasar-dasar hukum islam), ia uraikan secara sederhana, mudah dan gamblang. Tak
mengherankan jika banyak orang, yang kemudian insyaf berkat menghadiri
pengajiannya. Bahkan menurut Imam Umar al-Kaisani, setiap kali ada saja orang
Yahudi atau Nasrani yang kemudian memeluk islam.
Perannya yang monomental ialah
merombak corak tasawuf – yang saat itu cendrung meninggalkan syariat kerena
terpengaruh filsafat Yunani (tasawuf Falsafi). Syekh Abdul Qadir menekankan
tasawuf tidak boleh dan tidak bisa lepas dari aturan-aturan Allah, seperti pada
awal kemunculannya di abad pertama (tasawuf Syar’i) “Kembalilah kepada Syariat,
dan peganglah hukum-hukumnya dengan kuat, tinggalkan hawa nafsu, karena
sesungguhnya setiap hakekat yang tidak bersandarkan syariat itu sesat,”
demikianlah satu petuahnya.
Komitmennya dalam membela dan
menegakkan kebenaran tak diragukan, kata-katanya sesekali lembut, tapi pada
kali lain bisa menggelegar – dihadapan penguasa sekalipun.
ULAMA BUSUK
Sekalipun untaian kata Syekh Abdul
Qadir Jailani sangat memikat, contoh keteladanan atau dakwah bilhal sangat ia
tekankan. Ia misalnya sangat dikenal sebagai orang yang sangat Tawaduk, rendah
hati, dermawan dan egaliter, tak segan ia bercengkrama dengan fakir miskin.
Mereka diperlakukan sama dengan yang lain. Ketika seorang mentri atau Khalifah
yang datang, ia tidak menyambutnya dengan berlebihan, misalnya berdiri dam
memberi tempat khusus. Ia mengecam ulama yang terlalu dekat dengan penguasa
demi kedudukan, ulama seperti itu adalah ulama Su’, ulama busuk.
Syekh Abduk Qadir diyakini telah
berjumpa (dalam mimpi) dengan Nabi Khidir – yang menahbiskannya sebagai wali,
karomah atau kemuliaan, yang tidak dimiliki orang kebanyakan. Sebagaimana
banyak diungkap dalam kitab manakib. Dalam kitab al-Mughni, Syekh Muwaffiquddin
menulis, antara lain, “Saya belum pernah mendengar karomah seseorang sebanyak
karomah Syekh Abdul Qadir,”
Beberapa ulama besar mengatakan hal
yang sama, misalnya Syekh Izzuddin bin Abdussalam, bahkan juga Ibnu Taimiyah –
yang dikenal cukup keras menolak karomah yang dipandang irasional.
Syekh Ja’far bin Hasan al-Barzanji
mencatat, Syekh Abdul Qadir berguru ilmu Fikih kepada Abu Wafa Ali bin Aqiel,
Abu Khattab al-Khalwadzani dan Muhammad bin Abu Ya’la. Yang disebut terakhir
adalah ulama panutan di Bagdad kala itu. Ia juga berguru kepada Syekh Abu Sa’ad
Mubarak, guru besar mazhab Hanafi, bahkan kemudian mendapat Ijazah untuk
mengajar. Sedang dalam ilmu bahasa ia belajar kepada syekh at-Tibrizi. Selain
itu ia juga menjadi murid di Mdrasah Nizamiyah pimpinan Filsuf besar Imam
Ghazali. Dalam ilmu tasawuf ia belajar kepada Arif Billah Syekh Abi Khair
Hammad bin Muslim ad-Dabbas.
Syekh Abdul Qadir dikenal sebagai
Fuqaha (ahli Fikih) yang menguasai ilmu fikih dengan pemahaman yang sangat
luas. Itu sebabnya dalam berfatwa ia selalu menggunakan dua mazhab, yaitu
mazhab Syafi’i dan Hambali. Ia pernah diuji oleh 100 ulama ahli fikih, dan
lulus dengan baik. Bisa dimaklumi jika belakangan ia tampil sebagai guru bagi
sejumlah ulama. Dalam kitab Rijal al-Fikr wa Da’wah al-Islam, Abu Hasan
an-Nadwi menulis, Syekh Abdul Qadir mempunyai kesibukan luar biasa dalam
mendidik para ulama. Ia mengajar Tafsir, Hadis, Usul Fiqh, Nahwu, Seni Baca
Al-Qur’an dan seluk beluk Mazhab khususnya Syafi’I dan Hambali.
Adapun kehidupan tasawufnya dimulai
setelah ia mendapat restu dari sufi besar Yusuf al-Hamadani. Sekitar 10 tahun
setelah mengajar, pada 528 H ia mendirikan Madrasah dan Ribath di Bagdad – yang
belakangan berkembang dengan pesat. Menurut pengembara yang terkenal, Ibnu
Batutah, dan Orientalis terkenal asal Ingris, H.A.R. Gibb, sebelumnya sudah ada
Zawiyah (pesantren untuk melakukan Tasawuf) di Bagdad, tapi Ribath yang
didirikan oleh Syekh Abdul Qadir menjadi lebih menonjol. Tarekat Qadiriyah
berkembang dengan cepat, sebab – sebagaimana dikemukakan oleh Imam
as-Syahrawardi dalam Awariful Ma’arif – setiap murid yang telah mendapat Ijazah
dari Syekh Abdul Qadir diwajibkan menyebarkan ajarannya.
WALI QUTUB
Terkenal sangat alim dan menguasai
banyak ilmu agama, tak mengherankan jika tokoh-tokoh sufi banyak berguru
kepadanya. Dintaranya Ali al-Haddad (Yaman), Taqiyudin Muhammad (Cyprus) dan
Muhammad Abdus Shamad – yang kemudian menjadi wakilnya. Beberapa ulama besar
dan sufi mengagumi kepribadiannya. Diantaranya Ibnu Arabi. Dalam kitabnya,
Futuhatul Makiyyah, Ibnu Arabi bahkan menyebut Syekh Abdul Qadir sebagai Wali
Qutub, Alias tokoh terpenting para Wali. Sementara menurut Ibnu Katsir, seorang
ahli Tafsir yang sangat terkenal, Syekh Abdul Qadir adalah ulama Zuhud (lebih
mementingkan kehidupan Akherat) yang tangguh dalam melaksanakan Amar makruf
nahi Munkar.
Keistimewaan Tarekat Qadiriyah
adalah. Ajaran tasawufnya tidak menyimpang dari Syara’ (ketentuan agama),
sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah, tokoh pembaharu pemikiran islam,
Syekh Abdul Qadir, ajaran tasawuf yang tidak meningglkan Syara”, bahkan
menyerukan agar tarekat tetap berjalan dibawah kontrol Al-Qur’an dan Hadis,
tidak mengamalkan hal-hal yang bersifat Bid’ah (amalan yang tidak ada aturannya
dalam Syara’). Ia juga menekankan, tidak ada kewajiban Syara’, yang gugur
ketika pelaku tarekat dalam keadaan tertentu, misalnya dalam keadaan Fana –
hilangnya kesadaran ketika seseorang berusaha mendekatkan diri kepada Allah.
Sebab menurutnya, meninggalkan Syara’ merupakan perbuatan Zindiq (keblinger).
Dimasa Syekh Abdul Qadir hidup,
kaum muslimin dalam keadaan amburadul. Sebagian besar diantara mereka lebih
mencintai kehidupan duniawi, berelomba mengambil muka dihadapan penguasa. Tapi
Syekh Abdul Qadir menjauhi mereka semua. Menurut Abu Hasan an-Nadwi seorang
ulama terkenal dari India, untuk memperbaiki jiwa kaum muslimin ketika itu,
Syekh Abdul Qadir menyampaikan beberapa nasehat, bimbingan, dakwan dan
pendidikan.
Tapi, karena masalahnya sudah
bersinggungan dengan kekuasaan. Syekh Abdul Qadir tak mungkin lepas dari politik.
Suatu ketika Khalifah Al-Muktafi Amirul Mukminin (531 H/1136 M – 555 H/1160 M)
mengangkat Ibnu Muzahim sebagai Hakim yang oleh kebanyakan orang dikenal zalim.
Maka dengan terang-terangan ia berpidato, “Wahai Amirul Mukminin, tuan telah
mengangkat seseorang yang dikenal paling zalim sebagai Hakim bagi kaum
Muslimin. Apakah jawaban tuan nanti bila Allah menanyakan hal itu?”
Mendengar pidato yang menggelegar
itu , Khalifah Al-Muktafi konon gemetar dan menangis, kemudian segera memecat
sang Hakim.
Uniknya, meski Syekh Abdul Qadir
sering mengkritik, para pembesar tidak merasa tersinggung, bahkan tidak kapok
menghadiri majlis, meski harus berdesak-desakan dengan rakyat jelata.
Syekh abdul Qadir Jailani wafat
pada 11 Rabiul Akhir 561 H/1166 M, meninggalkan empat istri dan 11 anak (versi
lain 49 anak) dan di makamkan di Bagdad – yang hingga kini selalu penuh oleh
ribuan peziarah. Para pengikutnya menjadikan tanggal wafatnya sebagai haul
setiap tahun sampai sekarang. Adapun Madrasah dan Ribathnya diteruskan oleh
kedua anaknya: Abdul Wahab dan Adussalam. Sesudah wafatnya, tarekat Qadiriyah
berkembang pesat. Seorang penulis Prancis, Le Chatelir, menulis dalam
Confrenrsia Musulmanes du Hejaz bahwa ketika Syekh Abdul Qadir masih hidup,
anak-anaknya menyebarkan tarekat Qadiriyah ke Maroko, Turkistan, Mesir dan
India.
ZIKIR JAHR
Hingga kini ajaran Syekh Abdul Qadir
Jailani, yang terekam dalam tarekat Qadiriyah, terus diamalkan oleh para
pengikutnya di seluruh dunia, terutama di Asia, Afrika dan Eropa. Gagasan dan
pemikirannya ia tumpahkan dalam sejumlah kitab, seperti Ightsatul Arifin wa
Ghayatu minal Washilin; Awradul Jailani wa Ad-‘iyyatuhu; Adabus Suluk; Khathir;
Ar-Risalatul Ghawtsiyah; Al-Fathur Rabbani wa Faydur Rahmani; A-Ghunyatu
Lith-Thalibit Thariqil Haq; Mi’raju Lathifil Ma’ani; Yawaghitul Hukmi; dan
Sittin Majalis.
Secara singkat, tarekat Qadiriyah
di uraikan dalam kitab Al-Salsabil al-Mu’ayan fi Tharaiq al-Arbain. Inti
tarekat ini ialah berzikir bil Jahr (zikir yang diucapkan) dalam sebuah majlis
yang sangat serius. Amalan itu disertai dengan I’tikaf (merenung dan berdoa
didalam Masjid), berpuasa dan berdzikir secara berkelompok atau individual
mengasingkan diri dari keramaian masyarakat. Amalan-amalan itu sejak awal,
haruslah diniatkan dengan sungguh-sungguh untuk “menghadirkan” kebesaran Allah,
sangat diharapkan jiwa akan terpelihara dan terjaga kebersihannya, sebab
pendidikan melalui keagungan Allah niscaya pada akhirnya mampu menghapus
kegalauan hati dan jiwa.
Menurut Syekh Abdul Qadir, untuk
dapat mulai mengamalkan tarekat Qadiriyah, seorang pemula harus memiliki akidah
yang benar sebagai dasar, yaitu akidah yang dianut oleh para ulama salaf, ulama
yang hidup dimasa awal pertumbuhan islam. Yakni, berpegang teguh pada Al-Qur’an
dan sunnah, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, bersikap
jujur dan bersungguh-sungguh. Dengan demikian diharapkan para pengamal
memperoleh hidayah Allah SWT.
Dalam pada itu mereka hendaknya
berniat dengan sungguh-sungguh, berperilaku tulus dan bermurah hati,
meninggalkan rasa permusuhan, menjaga silaturrahmi, mendahulukan kepentingan
bersama, suka memberi nasehat dan membantu dalam urusan agama maupun dunia.
Diantara beberapa ciri khusus
tarekat Qadiriyah, yang paling menonjol ialah: Rasa patuh dan tunduk kepada
ketentuan Takdir Allah SWT; menyesuaikan keadaan hati dan roh, lahir dan batin,
meninggalkan kecendrungan nafsu dan tanpa pamrih. Walhasil tarekat Qadiriyah mengajarkan
pemurnian akidah dengan meletakkan diri pribadi pada sikap selalu beribadah.
AIR MANAKIB YANG AJAIB
Syekh Abdul Qadir Jailani
adalah salah seorang Mujaddid, pembaharu pemikiran keagamaan dalam Islam. Salah
satu sikapnya yang sangat tegas dan prinsipil adalah: penolakannya terhadap
kemewahan duniawi hingga bisa melupakan Allah SWT, juga hal-hal yang tidak
diatur dalam ajaran islam. Selain dikenal senbagai pakar hukum islam dan
penulis yang produktif, ia juga tokoh spritual yang kharismatik dengan
pengaruh yang sangat luas. Nama lengkapnya: Abu Muhammad Abdul Qadir Jailani
bin Abi Shalih Janki Dausat bin Abdillah. Garis keturunannya langsung ke
Rasulullah SAW, dilahirkan pada 1 Ramadan471 H di Jilan, Thabaristan, di
pinggiran Irak.
Sejak muda ia menuntut ilmu di
Bagdad, Irak, berguru ilmu Fikih kepada beberapa ulama besar, seperti Abul
Hasan Muhammad bin Hasan Al-Qadhi, Abdul Khattab al-kalawazani; dan belajar
Sastra Arab kepada Abdul Khair Hammad bin Muslim ad-Dabbas. Selama belajar ia
selalu prihatin. Berkat kejujuran dan kesalehannya, ia cepat menguasai berbagai
ilmu. Bahkan ketika itu ia telah menyusun tiga kitab: Futhuhul Ghaib, Fathur
Rabbani dan Qasyidah Al- Ghawasiyah.
Ia juga terkenal sebagai Mubalig
yang tekun bermujahadah (tirakat), mengajar agama dan giat berdakwah – sampai
menjelang wafatnya pada tahun 561 H saat ia berusia 90 tahun. Sebagai seorang
tokoh spritual muslim, ia mempunyai pengaruh yang besar bahkan masih dikenang
hingga kini. Di masa hidupnya, bahkan seorang Khalifah tak berani membantah
fatwanya, sementara beberapa ulama besar memuji kapasitasnya sebagai seorang
yang alim, ketika ia masih hidup maupun setelah wafat. Untuk menghormatinya,
tarekat yang didirikannya dinamakan Tarekat Qadiriyah yang diambil dari
namanya. Hingga kini kaum muslimin banyak yang berdoa sambil menyebut namanya,
berharap bisa memperoleh berkah, pertolongan dari Allah AWT, melalui beliau.
Pondok pesantren Al-Qodiri di
kelurahan Gebang, Kecamatan Patrang, Kabupaten Jember, Jawa Timur, merupakan
pusat Tarekat Qadiriyah yang selalu membaca Manakib, yaitu biografi Syekh Abdul
Qadir Jailani. Setiap malam Jumat Legi, arena Pondok lima hektar itu
penuh oleh Jemaah. Mereka datang dari segenap penjuru Pulau Jawa, Bali,
Sumatra, Kalimantan, dan berbagai daerah lain di Indonesia. Bahkan ada yang
datang Singapura dan Malaysia. Jumlahnya puluhan Ribu Orang.
MENINGKATKAN KUALITAS IMAN
Tidak sedikit pula jemaah yang membludak dalam acara yang di gelar
setiap malam Ahad, khusus untuk santriwati dan Ibu-ibu muslimat, atau malam
Jumat untuk santriawan dan kaum muslimin yang bermukim disekitar pondok. Mereka
yang terdiri dari berbagai golongan, berdzikir bersama dibawah bimbingan KH.
Ahmad Muzakki Syah. Pengasuh Ponpes Al-Qodiri. Belakangan majlis dzikir itu
berkembang ke berbagai daerah sehingga terbentuk beberapa cabang Al-Qadiri.
Setiap cabang dipimpin oleh seorang imam
yang sudah mendapat Ijazah dari KH. Ahmad Muzakki Syah.
Dalam manakiban banyak amalan
dilakukan dalam rangka berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT, caranya
antara lain, meningkatkan kualitas iman dan ketaqwaan, senantiasa berdzikir
mengingat Allah SWT, berjuang dan berkorban dengan ikhlas demi syiar Islam,
melawan segala macam hawa nafsu, bertahan dari godaan dan rayuan setan. Ritus
diawali dengan pembacaan kalimat Syahadat tiga kali, dilanjutkan kasidah
istighasah yang terdiri dari 40 bait, selanjutnya shalat sunah Libirrul
walidain dua rakaat untuk membalas kebaikan kedua orang tua, dilanjutkan
membaca Istighfar, shalawat Nabi, Tawasul mengharap Ridlo Allah SWT, memohon
kepada Rasulullah SAW beserta para istri dan sahabatnya, kepada Syekh Abdul Qadir
Jailani, serta kepada para wali.
Selanjutnya jemaah membaca surat
Al-Fatihah untuk arwah para guru, orang tua serta segenap kaum Muslimin dan
muslimat. Setelah itu melakukan muraqabah, yaitu mendekatkan diri kepada Allah
SWT dengan membaca Surah Al-Fatihah 33 kali, surah Al-Ikhlas 100 kali, berdoa
dan membaca shalawat serta asmaul Husna (nama-nama Allah) sebanyak 333 kali,
shalat sunnah Hajat, membaca kasidah Istighatsah kedua, shalat witir, dzikir
kalimah tauhid 100 kali dan di tutup dengan doa.
Dalam bermanakib, para jemaah
lazimnya membawa air yang disebut “Air Manakib”, yang diyakini sebagai obat
mujarab – karena telah di doakan dalam proses ritual yang panjang dan khusuk
tersebut. Seorang jemaah dari Situbondo, Jawa Timur mengaku sudah tujuh tahun mengikuti manakiban di Ponpes
Al-Qodiri. Ia menggunakan air manakib untuk membantu suaminya yang buta, yang
berprofesi sebagai tukang pijat.
KH. Ahmad Muzakki Syah, pendiri dan
pengasuh Ponpes Al-Qadiri, lahir pada 8 September 1948 di Kedawung, Jember,
dari pasangan KH. Ahmad Shah dan Hj. Siti Fatimatuz Zahra. Sejak kecil ia
memang sudah terbiasa melakukan Riyadhah, tirakat mendekatkan diri kepada Allah
WT, antara lain dengan berpuasa dan tidak tidur. “Apabila manusia taat dan
dekat kepada Allah SWT , Allah akan mendekat kepadanya, sebab yang terjadi di
dunia adalah atas kehendak-Nya. Kita manusia hanya berencana, Allahlah yang
menentukan,” katanya. “Rasulullah SAW bersabda, apabila seorang hamba di sayang
oleh Allah SWT, kehendak Allah bersama kehendak hamba-Nya,” tambahnya.
Sebagai pengamal ajaran tarekat
Qadiriyah, KH. Muzakki mendapat anugerah Allah berupa Karomah, dengan Karomahnya
beberapa kali ia membantu orang, atau melawan kebatilan, yang bagi orang awam
tentu tidak masuk akal. Misalnya Senen malam 17 Mei 1999, ketika KH. Muzakki
dan rombongan dihadang sekitar 30 orang bersenjata tajam dalam perjalanan
menghadiri pengajian ke desa Cerme, Probolinggo. Dengan tenang ia membuka
serban dan diletakkan di kaca depan, subhanallah, para penghadang itu tak
bergerak sama sekali.
Ketika pulang mobil yang membawa
rombongan ibu-ibu muslimat mogok di tengah ladang karena kehabisan bensin.
Ketika itu kebetulan mobil KH. Muzakki lewat. Mengetahui mobil ibu-ibu itu
kehabisan bensin, ia segera memberikan sebotol plastik air meneral sebagai
pengganti bahan bakar. Allah Akbar, mobil itu langsung bisa berjalan kembali.
Dalam pengajian di desa Tegalcuwet,
Sumberbulu, Kecamatan Tegal Siwalan, Probolinggo, Selasa 22 Juli 2003, KH.
Muzakki menyembuhkan seorang lelaki bernama Bawasen, 41, yang menderita buta
selama 11 tahun. Setelah membaca Surah Al-Fatihah, ia berdoa, aneh, saat itu
juga Bawasen merasa kepanasan karena matanya seperti terbakar, ia berteriak-teriak,
Alhamdulillah, saat itu juga ia bisa melihat kembali.
Berkat karomah pula KH. Muzakki
mampu menyembuhkan seorang lelaki yang lumpuh ketika ia diundang dalam sebuah
pengajian di desa Karangan, Kecamatan Panti, Jember, pada 10 Oktober 2003,
ketika itulah Taufik Musthafa kerabat Kiyai yang sudah bertahun-tahun lumpuh,
mendadak dapat berjalan. Mula-mula ia hanya ingin bertemu dan berjabat dengan
kiyai, ia mencoba mendekat, tapi tak bisa berjalan, bahkan jatuh terguling. Ia
hanya sempat menyentuh ujung Jubah Kiyai Muzakki. Tapi beberapa saat setelah
itu ia dapat berjalan.
Mengenai air manakib, ada dua
kejadian yang luar biasa, bagi mereka yang percaya, konon, air manakib dapat
menyembuhkan ternak yang terserang penyakit. Bahkan hal sangat ajaib, dialami
oleh Ibu Mariyam dari Sumber, Buleleng, Bali, anak lelakinya yang lahir tanpa
dubur berangsur-angsur dapat buang air besar, berkat air manakib yang di
usapkan pada duburnya, ketika itu duburnya langsung normal. Sungguh Allah Maha
Besar. Wallahu A’lam Bis Shawab.
SYEKH ABDUL QADIR JAILANI
ULAR DAN RAJA JIN
Sebagai ulama, sufi besar, dan
Waliyullah, Syekh Abdul Qadir Jailani terkenal dengan sejumlah Karomah. Dalam
catatan kaki buku Titian Mahabbah, perjalanan spritual menuju sang Khalik,
karya Syekh Abdul Qadir Jailani (terjemahan Ahmad Fadhil) karomah Syekh Abdul
Qadir tercantum dalam berbagai manakibnya. Ada pula beberapa Manuskrip yang
mencatat karomah waliyullah ini, seperti manakib Syekh Abdul Qadir Jailani, Tunur
Al-Awliya wa Rumuz Asyfiya.
Kitab yang mencatat Manakib dan
karomah-karomahnya, antara lain, Al-Kawakibul Dzurriyah fil Manakibil
Qadiriyah, karya Muhammad Rasyid Ar-Rafi, Qala’idul Jawahir fi Manakibu Abdul
Qadir, Karya Muhammad Al- Halabi, Nuzah Al-Khathir fi Tajemah Asy-Syarif Abdul
Qadir Al-Jailani, karya Arifin Asyadurbiyan, Tafrijul Khathir fi Manakibu Abdul
Qadir, karya Al-Arbali.
Berikut beberapa Karomah Syekh
Abdul Qadir Jailani yang sangat populer di kalangan para pengikutnya:
Suatu hari Syekh Adi ibnu Musafir
Al-Hakkar, seorang ulama, berada diantara ribuan jemaah yang tengah
mendengarkan pengajian Syekh Abdul Qadir Jailani. Ketika Syekh Abdul Qadir
sedang bicara, tiba-tiba hujan turun sangat lebat, orang-orang berlarian
meninggalkan tempat pengajian, sementara langit mendung di liputi awan hitam,
menandakan hujan akan turun semakin lebat. Saat itu Syekh Abdul Qadir mendongak
ke langit sambil mengangkat tangan, lalu berdoa, “Ya Robbi, aku telah
mengumpulkan manusia karena engkau, adakah kini Engkau akan menghalau mereka?”
ajaib! Tak lama kemudian hujan pun reda, tak setitik hujan pun jatuh di lokasi
pengajian, padahal di sekelilingnya hujan turun dengan sangat derasnya.
Pada suatu hari syekh Abdul Qadir
berjalan-jalan dengan beberapa muridnya di padang pasir. Hari sangat panas,
sementara mereka sedang berpuasa. Tentu saja mereka merasa sangat dahaga dan
letih. Tiba-tiba sekumpulan awan muncul di langit melindungi mereka dari terik
matahari. Setelah itu sebatang pohon kurma dan sebuah kolam air muncul. Lalu
tampaklah cahaya berkilauan di celah-celah awan. Ketika itu terdengar suara,
“Wahai Abdul Qadir, Akulah Tuhanmu, makan dan minumlah karena pada hari ini
telah aku halalkan untukmu apa yang telah aku haramkan untuk orang lain.”
Maka Syekh Abdul Qadir menatap ke
arah cahaya yang berkilauan itu, lalu katanya, “Aku berlindung kepada Allah
dari godaan Syetan yang terkutuk.” Tiba-tiba cahaya, pohon kurma dan kolam itu
lenyap seketika! Dan tak lama kemudian tampaklah Iblis dalam bentuknya yang
asli.
Maka Iblis pun bertanya, “Bagaimana
engkau dapat mengetahui bahwa suara itu adalah suaraku?”
Jawab Syekh Abdul Qadir, “Syariat
sudah sempurna, tidak akan berubah sampai hari kiamat. Allah tidak merubah yang
haram menjadi halal, walaupun untuk orang-orang yang menjadi pilihan-Nya.”
Tapi, Iblis masih mau menguji Syekh
Abdul Qadir, lalu katanya, “Aku telah menipu 70 orang salikin (orang-orang yang
menempuh jalan kerohanian) dengan cara ini. Ilmu yang engkau miliki ternyata
lebih luas daripada lmu mereka. Tapi apakah hanya sebanyak ini pengikutmu?
Sudah sepatutnya semua penduduk bumi menjadi pengikutmu, karena ilmumu menyamai
ilmu para Nabi.”
Jawab syekh Abdul Qadir, “Aku
berlindung kepada Allah, yang Maha Mendengar, yang Maha Mengetahui, daripada
engkau. Bukanlah karena ilmuku aku terselamatkan, tapi karena rahmat Allah,
pengatur sekalian alam.”
Suatu hari para istri Syekh Abdul
Qadir menemuinya, mereka berkata, “Wahai suami kami yang terhormat, anak lelaki
kecil kita telah meninggal dunia, namun kami tidak melihat setitik air mata pun
yang mengalir dari mata kakanda. Tidak pula kakanda menunjukkan tanda-tanda
kesedihan. Tidakkah kakanda menyimpan rasa belas kasihan pada anak lelaki kita?
Kami semua sedang dirundung kesedihan, namun kakanda masih meneruskan
pekerjaan, seolah tidak ada sesuatu pun yang terjadi. Kakanda adalah pemimpin
dan pelindung kami di dunia dan di akherat. Tetapi jika hati kakanda mengeras
sehingga tiada lagi rasa belas kasihan, bagaimana kami dapat bergantung kepada
kakanda di hari pembalasan kelak?”
Dengan tenang Syekh Abdul Qadir
menjawab, “Wahai Istri-istriku yang tercinta! Janganlah kalian menyangka hatiku
mengeras, aku menyimpan rasa belas kasihan di hati kepada seluruh makhluk,
bahkan juga kepada kepada orang-orang kafir serta anjing yang menggigitku. Aku
berdoa kepada Allah agar anjing itu berhenti menggigit, bukanlah karena aku
takut di gigit, tapi karena aku takut nanti manusia lain akan melempar anjing
itu dengan batu. Tidakkah kalian ketahui, aku mewarisi sifat-sifat belas
kasihan Rasulullah SAW yang telah di utus Allah sebagai rahmat untuk sekalian
alam?”
Para istri itu pun berkata lagi,
“Kalau benar kakanda punya rasa kasihan terhadap seluruh makhluk Allah, sampai
kepada anjing yang menggigit kakanda, mengapa kakanda tidak menunjukkan rasa
sedih atas kehilangan anak lelaki kita yang telah meninggal?”
Maka jawab Syekh Abdul Qadir,
“Wahai istri-istriku yang berduka cita, kalian menangis karena merasa berpisah
dengan anak lelaki kita yang tercinta, tapi aku senantiasa bersama orang-orang
yang aku sayangi. Kalian telah melihat anak lelaki kita dalam satu ilusi yang
disebut dunia. Kini dia telah meninggalkannya lalu berpindah ke suatu tempat
yang lain. Allah telah berfirman, “Dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan
hanyalah ilusi” (QS. Al-Hadid: 20). Memang dunia ini ilusi untuk mereka yang
terlena. Tapi aku tidak terlena. Aku melihat dan waspada. Aku melihat anak
lelaki kita sedang berada dalam bulatan masa, dan kini dia telah keluar, namun
aku masih dapat melihatnya. Kini dia berada di sisiku. Dia sedang bermain-main
di sekelilingku, sebagaimana pernah dia lakukan dahulu. Sesungguhnya jika seseorang
dapat melihat kebenaran dengan mata hatinya – baik yang dilihatnya semasa masih
hidup maupun setelah mati – kebenaran itu tidak akan hilang.”
Pada suatu hari, Syekh Abil Abbas
Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ahmad Al-Urasy Al-Jilli, seorang ulama menghadiri
majlis yang digelar Syekh Abdul Qadir, tiba-tiba muncul seekor ular raksasa di
pangkuan Syekh Abdul Qadir. Orang-orang pun lari tunggang langgang, tapi Syekh
Abdul Qadir hanya duduk tenang, kemudian ular itu masuk kedalam bajunya dan
merayap-rayap ke badannya, lalu naik ke leharnya, namun Syekh Abdul Qadir masih
tetap tenang dalam duduknya. Tak beberapa lama ular itu turun dari tubuh Syekh
Abdul Qadir, dan tampak berbicara dengannya, setelah itu ular yang besar dan
mengerikan itu pun hilang, Gaib, menurut Syekh Abdul Qadir, ular itu berkata
behwa dia telah menguji para waliyullah, tapi dia tidak pernah bertemu
waliyullah yang setenang Syekh Abdul Qadir.
Karomah Syekh Abdul Qadir juga
dikisahkan oleh Syekh Abi Umar Uthman dan Syekh Abu Muhammad Abdul Haq
Al-Huraimy, yang suatu hari berada di sisi Syekh Abdul Qadir. Ketika itu Beliau
mengenakan terompah, sedang mengambil air wudu, usai salat sunah dua rakaat,
tiba-tiba Syekh Abdul Qadir melemparkan terompahnya dengan sekuat tenaga.
“Kami yang berada disitu melihat
dengan takjub, tapi tak seorangpun yang berani menanyakan maksud perbuatan
tersebut,” kata Syekh Abu Umar.
Dua puluh tiga hari kemudian,
sebuah kafilah datang menziarahi Syekh Abdul Qadir, membawa beberapa hadiah:
Baju, emas, Perak, termasuk sepasang terompah – yang pernah dipakai oleh Syekh
Abdul Qadir. Menurut kepala rombongan kafilah itu, suatu hari ketika dalam
perjalanan, mereka diserang oleh gerombolan perampok, mereka merampas semua
barang bawaan. Maka rombongan kafilah itu pun menyeru nama Syekh Abdul Qadir
untuk menolong mereka. Mereka juga bernazar, jika selamat akan menyampaikan
beberapa hadiah.
“Tiba-tiba terdengar jeritan
beberapa orang, sementara di udara tampak sebuah benda melayang-layang,
menyambar dengan sangat kuat. Tak lama kemudian kami mendengar jeritan-jeritan
lagi dan meliahat lagi sebuah benda melayang di udara, menyambar-nyambar dengan
sangat kuat,” tutur kepala rombongan kafilah tersebut. Ketika itulah gerombolan
perampok berlarian lintang pukang, sambil meminta agar kami mengambil kembali
harta yang telah mereka rampas. kami lihat dua orang benggol perampok itu
tewas, dan disamping mereka tergeletak sepasang terompah. Inilah
terompah-terompah itu.”
Kisah lain diceritakan oleh Syekh
Abduh Hamad ibnu Hammam, seorang saudagar kaya di Baghdad.
“Ketika sedang mendengar khotbah
salat jumat Syekh Abdul Qadir, tiba-tiba aku merasa pingin sekali buang air
besar, padahal untuk keluar menuju kakus sangat sulit. Ketika itulah beliau
turun dari mimbar dan berdiri dihadapanku, sambil terus berkhotbah, beliau
menutup tubuhku dengan jubahnya. Tiba-tiba aku merasa berada disebuah lembah
hijau yang sangat indah dan sepi. Aku lihat anak sungai mengalir tenang, maka
akupun buang air besar. Setelah selesai, aku mengambil air wudu. Ketika itu aku
sedang berniat untuk salat, tiba-tiba aku sudah di tempat semula dibawah jubah
Syekh Abdulkadir. Beliau mengangkat jubahnya dan naik kembali ke mimbar.
Perutku sudah lega.
Usai salat Jumat, aku pulang.
Merenungi segala kejadian yang menimpaku dan karomah Syekh Abdul Qadir Jailani.
Beberapa hari kemudian, setelah
melakukan perenungan mendalam, aku menemui Syekh Abdul Qadir, menyampaikan
niatku untuk menjadi muridnya.”
( Alkisah Nomor 10 / 9-22 Mei
2005 )
Disarikan dari http://www.alqodiri.com/2016/10/antara-karomah-mistik-dan-lagenda.html
The best titanium pipes in the world for sale
BalasHapusThese are some of the most beautiful, but expensive, parts of any pipe! titanium bar stock These are titanium plate the genuine titanium pipes suppliers of metal in our line titanium jewelry of This is the largest ceramic pipe that babylisspro nano titanium